Banyak orang Kristen yang bertanya: “Apakah kita akan menerima upah karena melayani Tuhan? Bukankah di surga nanti kita bertemu Tuhan dan itu sudah cukup?”, “Apakah ada bedanya upah di surga antara orang Kristen yang giat melayani Tuhan dengan yang bermalas-malasan saja?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab supaya kita mampu menjalani kehidupan ini dengan perspektif yang benar.
Apakah Allah memberikan upah atas pelayanan kita?
Sebagaimana artinya pada masa kini, upah di dalam Alkitab pun berarti hasil dari perbuatan atau pekerjaan kita (“apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” Gal. 6:7b). Kita harus membedakannya dengan anugerah/karunia, yaitu apa yang diberikan oleh Allah secara cuma-cuma atas dasar kasih-Nya kepada kita (“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah” – Ef. 2:8; lihat juga Rm. 6:23b). Dari pengertian tersebut, terlihat bahwa upah bergantung pada usaha, sedangkan anugerah bergantung pada Sang Pemberi.
Melalui penebusan Kristus, Allah memberikan karunia kepada orang-orang percaya berupa hidup kekal. Namun selain itu, Allah juga memberikan upah atas jerih lelah dan juga pelayanan mereka selama hidup di dunia. Hal tersebut terlihat dari ayat-ayat berikut:
Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan. (Ef. 6:8)
23 Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. 24 Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya. (Kol. 3:23-24)
Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya. (Mat. 16:27)
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya. (Mrk. 9:41)
Masih banyak ayat lain yang berbicara mengenai upah. Jadi jelas, konsep tentang upah adalah alkitabiah. Namun demikian, Alkitab tidak menjelaskan upah yang akan kita terima seperti apa. Memang ada banyak penggambaran yang dinyatakan di dalam Alkitab. Misalnya, berbagai “mahkota” yang akan diterima oleh orang-orang percaya (1Kor. 9:25; 1Tes. 2:19; 2Tim. 4:8; Yak. 1:12; 1Ptr. 5:4; tentang “mahkota” ini pun ada banyak penafsiran). Kemudian, Alkitab juga banyak menggambarkan surga dengan penggambaran material yang indah-indah.
Tetapi, itu semua tidak dapat kita pastikan wujudnya. Kemungkinan besar, itu hanya gambaran bagi kita yang tinggal di dunia supaya sedikit memahami kemuliaan surga. Kita hanya akan tahu wujud upah yang sebenarnya hingga kita sampai ke surga (dan tidak akan berbentuk hal-hal yang berkaitan dengan dosa/hanya memuaskan nafsu kedagingan).
Siapakah yang akan menerima upah?
Apakah semua orang akan menerima upah dari Tuhan? Tidak. Hanya orang-orang yang telah dijadikan anak-anak-Nyalah yang nantinya akan menerima upah dari Tuhan.
Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia (Ibr. 11:6)
Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya (Ef. 1:5)
Lalu bagaimana dengan perbuatan baik yang dilakukan oleh orang-orang di luar Kristus? Mereka tetap merasakan kebaikan Allah, namun terbatas hanya selama mereka hidup di dunia saja. Alkitab menyatakan bahwa Allah “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:45b). Jika mereka berbuat baik, maka bisa saja mereka menerima kebaikan dari orang lainnya. Contohnya, orang yang bekerja lebih sungguh-sungguh biasanya akan mendapatkan imbalan materi yang lebih besar. Tentu kita percaya ini semua ada dalam kendali Allah.
Kebaikan Allah yang dirasakan oleh manusia selama hidup di dunia ini juga bisa dirasakan oleh orang-orang percaya akibat dari pelayanan mereka yang baik. Misalnya, seorang pelayan Tuhan yang giat dan tulus, bisa mendapatkan kebaikan dari orang-orang yang dilayaninya. Paulus sendiri mengingatkan: “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” (1Tim. 5:7). Tetapi ingat, hal-hal seperti itu hanyalah efek samping, jangan menjadi tujuan dalam melayani.
Apakah ada perbedaan upah di surga?
Di dalam beberapa bagian Alkitab, tersirat bahwa orang-orang percaya akan menerima “upah” yang sama (seperti perumpamaan tentang para pekerja di kebun anggur, Mat. 20:1-16). Namun di dalam beberapa bagian lainnya (seperti perumpamaan tentang uang mina, Luk. 19:11-27), tersirat adanya perbedaan “upah” yang diterima oleh orang percaya. Ada juga ayat-ayat seperti:
Kemuliaan matahari lain dari pada kemuliaan bulan, dan kemuliaan bulan lain dari pada kemuliaan bintang-bintang, dan kemuliaan bintang yang satu berbeda dengan kemuliaan bintang yang lain. (1Kor. 15:41)
Jika Anda mengikuti perdebatan para ahli tentang topik ini, Anda pun akan melihat beragamnya pandangan yang ada. Namun di antara pandangan-pandangan tersebut, penjelasan yang diberikan oleh Millard J. Erickson ketika membahas isu-isu tentang surga dalam bukunya Christian Theology saya kira dapat menolong kita. Menurut Erickson, perbedaan upah di surga kemungkinan tidak terwujud secara objektif. Misalnya, luas adalah sesuatu yang bersifat objektif. Maka ruangan seluas 10×10 meter akan tetap sama ukurannya walaupun diukur oleh orang yang berbeda. Jika upah di surga terwujud secara objektif, maka masing-masing orang percaya akan diberi upah yang berbeda-beda.
Tetapi Erickson berpendapat, upah di surga akan terwujud secara subjektif (tergantung perspektif seseorang). Analoginya adalah orang-orang yang datang dalam sebuah konser musik klasik. Orang yang mengerti musik klasik tentu akan lebih menikmati konser tersebut dibanding orang awam. Padahal, semua orang di gedung konser itu menerima gelombang suara yang sama. Jika mengikuiti pemahaman ini, maka di surga semua orang percaya akan menerima bagian yang sama, tetapi akan dirasakan secara berbeda-beda. Orang yang selama hidupnya belajar untuk menikmati persekutuan dengan Tuhan akan merasakan sukacita yang lebih besar dibanding orang percaya lainnya.
Penjelasan Erickson, walaupun terlihat baik, tetaplah masih bersifat spekulasi. Namun satu hal yang jelas dinyatakan dalam Alkitab, di surga nanti “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Why. 21:4b). Oleh sebab itu, seandainya memang ada perbedaan-perbedaan upah yang diterima oleh masing-masing orang percaya (entah secara objektif ataupun subjektif), maka hal itu tidak akan menimbulkan penyesalan, iri hati, dan perasaan-perasaan negatif lainnya.
Di surga, kita akan merasa sukacita secara sempurna karena kita akan langsung berhadapan muka dengan Tuhan (Why. 22:4-5). Tidak ada sukacita lain yang lebih besar, termasuk “upah” yang telah kita bahas (kalau di surga kita bisa merasa kurang bersukacita, atau masih merasa ingin lebih bersukacita, bukankah berarti itu sukacita yang tidak sempurna?). Kita tidak akan merasa menyesal mengapa waktu di dunia kurang bersungguh-sungguh (kalau ada penyesalan seperti ini, masihkah surga terasa nikmat?). Kita juga tidak akan merasa iri melihat orang lain mendapatkan upah yang lebih besar (jelas, karena kita tidak mungkin berdosa di surga). Justru sukacita yang dialami orang percaya lainnya akan mejadi sukacita kita juga. Saya menganalogikan, jika anak kita menjadi menteri, apakah kita akan iri? Tentu tidak. Yang terjadi adalah, kita ikut merasa bangga atas segala jerih payah kita dalam membesarkannya. Kondisi seperti itu memang tidak mungkin bisa dibayangkan oleh kita yang masih tinggal di dunia.
Bagaimanakah sikap kita seharusnya?
Setelah mencermati uraian di atas, inilah pertanyaan yang terpenting. Apapaun yang terjadi nantinya, lakukanlah pelayanan dengan motivasi yang benar, yaitu untuk memuliakan Tuhan saja. Bagaimana wujud “upah” yang akan Dia berikan, itu mutlak terserah Tuhan. Jika kita melakukan pelayanan demi mendapatkan upah di surga yang lebih besar, apalagi yang kita bayangkan itu adalah kesenangan-kesenangan material sebagaimana yang kita nikmati di dunia, berarti motivasi pelayanan kita keliru. Pelayanan seperti itu tidak akan berkenan di hati Tuhan. Sudah bekerja keras, berharap memperoleh hasil yang besar, tetapi ternyata sia-sia. Alangkah tragisnya!
11 Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. 12 Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, 13 sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. 14 Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. 15 Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api. (1Kor. 3:11-15)
Selain itu, jangan ragu untuk berusaha mengenal Tuhan dan melayani-Nya habis-habisan! Buang jauh-jauh pikiran-pikiran negatif seperti: “kalau upahnya sama, untuk apa saya melayani Tuhan lebih giat?” Itu adalah pikiran yang berpusat pada diri sendiri dan bersifat kedagingan, bukan pikiran yang dituntun oleh Roh Kudus. Ubah pikiran kita menjadi seperti: “saya akan lebih giat melayani Tuhan, supaya Tuhan dimuliakan melalui hidup saya dan banyak orang akan terberkati.” Orang yang benar-benar telah lahir baru, semakin mengenal Tuhan akan semakin risau jika membuang kesempatan untuk melayani Tuhan. Rasul Paulus mendorong:
Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (1Kor. 15:58).
Terakhir, teruslah menyadari bahwa Kristus telah terlebih dulu memberikan nyawa-Nya bagi kita. Pemahaman akan fakta ini akan memberikan kekuatan dalam melayani Tuhan di tengah segala keadaan.
https//studibiblika.id/