Cerita-cerita dalam Alkitab selalu menarik untuk dibaca dan diajarkan. Menafsirkan narasi merupakan teknik yang sangat penting untuk dipelajari karena 43% Alkitab berisi narasi (cerita). Namun demikian, masih banyak kekeliruan yang dilakukan orang ketika menafsirkannya
1. Mengabaikan Konteks. Ini adalah kekeliruan yang paling umum dilakukan. Ingatlah bahwa semua pernyataan harus dimengerti sesuai konteks penulisannya, termasuk Alkitab. Pernah menonton stand-up comedy dari Barat dan kita tidak tahu letak lucunya di mana? Inilah yang terjadi ketika kita tidak memahami konteks dari sebuah cerita.
Akibatnya apa jika kita tidak memahami konteks Alkitab? Jika kita tidak memahami dengan benar apa yang Tuhan maksudkan kepada para pembaca Alkitab masa itu (what it meant), kita juga tidak akan bisa menerapkan kehendak Tuhan dengan benar dalam situasi masa kini (what it means).
Misalnya, saya pernah mengenal seorang yang bergumul dengan kisah anak muda yang kaya, yang diminta menjual seluruh hartanya oleh Tuhan Yesus (Luk. 18:18-30). Tentu saja, kalau semua pengusaha melakukan ini, dunia malah akan kacau.
2. Keliru memahami poin utama dari cerita. Nah, apakah kita pernah mendengar guru Sekolah Minggu yang terlalu asyik menceritakan “ikan paus” yang menelan Yunus? Padahal, kisah Yunus terutama mengajarkan belas kasihan Allah. Kemudian, saya juga pernah mendengar seorang pengkhotbah yang menceritakan kegigihan keempat orang yang mengusung orang lumpuh untuk disembuhkan Tuhan Yesus (Mrk. 2:1-12). Tidak hanya mengusungnya, mereka bahkan sampai membuka atap rumah dan menurunkan tilam tempat orang lumpuh itu berbaring. Pengkhotbah itu sangat bersemangat dalam menceritakan bagaimana kita harus memiliki kegigihan yang sama. Menarik? Tentu saja, karena pengkhotbah tersebut saya akui sebagai pencerita yang baik. Tetapi dia melupakan pengajaran tentang Anak Manusia dalam kisah itu.
Seberapapun menariknya khotbah, jika poin utamanya justru tidak disampaikan, tentu bukanlah khotbah yang membangun kerohanian.
3. Memaksakan sudut pandang modern ke dalam teks. Sering kali pembaca Alkitab lupa bahwa teks yang mereka baca itu terjadi ribuan tahun yang lalu. Tentu saja, situasi dan pemikiran orang pada masa itu berbeda dengan pikiran kita pada masa kini.
Salah satu cara yang baik untuk menghindari kesalahan ini adalah memperlengkapi diri dengan alat bantu seperti buku-buku tafsiran. Saya anjurkan, minimal kita bisa memiliki Alkitab Edisi Studi. Dengan belajar dari bahan-bahan semacam itu, kita dapat mengerti pola pikir orang pada masa Alkitab ditulis.
4. Tidak mau menerima kebenaran yang berlawanan dengan kebenaran yang selama ini kita yakini. Karena memiliki natur dosa, kita cenderung untuk menolak kebenaran Alkitab berdasarkan kebenaran yang kita yakini sebelumnya. Bargerhuff mengambil contoh kasus homoseksualitas. Pada masa kini, apalagi dalam budaya masyarakat yang maju, homoseksualitas semakin dipandang sebagai hal yang lumrah. Akibatnya, ayat-ayat Alkitab yang berbicara mengenai homoseksualitas akan berusaha ditafsirkan sedemikian rupa sehingga terlihat seolah-olah Alkitab tidak melarangnya.
5. Mengompromikan fakta dengan tradisi. Tradisi yang dimaksudkan di sini adalah pemahaman terhadap bagian Alkitab tertentu yang sebenarnya tidak ada di dalam Alkitab itu sendiri. Misalnya, pada suatu kesempatan menyampaikan renungan, saya menyebutkan bahwa penjahat yang disalib di sebelah kanan Tuhan Yesus bertobat. Padahal kalau dicari di dalam cerita penyaliban di dalam keempat kitab Injil, tidak disebutkan penjahat yang mana yang bertobat. Tafsiran tersebut merupakan dugaan orang setelah zaman Alkitab. Setelah kejadian tersebut, saya selalu berusaha untuk mengecek dengan detail apakah isi khotbah saya benar-benar sesuai dengan fakta Alkitab.
6. Memahami perumpamaan dengan maksud yang sebenarnya tidak ada di dalamnya. Apa sebenarnya inti ajaran Tuhan Yesus dalam perumpamaan? Kebenaran rohani seputar Kerajaan Allah! Namun sayangnya, pembaca Alkitab, terutama yang tidak membekali diri dengan pengetahuan yang cukup, sering mengartikan perumpamaan dengan hal-hal yang “dibuat-buat.”
Dalam kategori ini, saya mengambil contoh yang sangat terkenal, yaitu tafsiran Origen (seorang Bapa Gereja abad ketiga) tentang perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati (Luk. 10:25-37). Menurut tafsiran Origen, orang yang dirampok melambangkan Adam, kota Yerusalem melambangkan surga, Yerikho melambangkan dunia, imam melambangkan Taurat, orang Lewi melambangkan para nabi, orang Samaria melambangkan Kristus, dan sebagainya.
Penafsiran seperti ini tentu sangat menarik dan kalau dikhotbahkan dengan gaya yang menarik, akan membuat pendengar kagum. Tetapi, jika itu bukan maksud Tuhan Yesus yang sebenarnya, sangat berbahaya untuk memahaminya seperti itu. Masih “untung” hasil penafsiran yang dilakukan oleh Origen ini selaras dengan ajaran Alkitab secara umum. Bayangkan kalau setiap orang menafsirkan dengan sekehendak hati.
7. Mengabaikan kebenaran di bagian lain Alkitab. Mengapa persembahan Kain ditolak Tuhan, sementara persembahan Habel diterima? Alkitab menjelaskan alasannya di dalam Perjanjian Baru (Ibr. 11:4). Salah satu prinsip penafsiran Alkitab adalah, kita tidak boleh menarik doktrin/kesimpulan berdasarkan hanya satu bagian Alkitab saja. Pelajari apa firman Tuhan di bagian lain Alkitab.
Salah satu kekeliruan yang banyak dilakukan oleh orang-orang Kristen adalah selalu meminta tanda dari Tuhan, sebagaimana Gideon (Hak. 6). Tentu saja, apa yang Tuhan lakukan dalam kasus tertentu, mungkin akan berbeda dalam kasus lain.
8. Menarik pemahaman baru tentang suatu kata atau konsep yang tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Bargerhuff memaparkan bahwa kekeliruan inilah yang sering dilakukan oleh para guru palsu dan aliran sesat (di lain kesempatan, saya akan menjelaskan kekeliruan Saksi Yehuwa dalam menafsirkan Yoh. 1:1). Padahal, sebuah kata bisa bermakna lain dalam konteks yang berbeda. Saya ambil contoh, frasa “mukanya memerah” dalam kedua kalimat berikut berbeda makna:
Pak Aji mukanya memerah setelah mendengar hinaan yang dilontarkan oleh tetangganya itu (artinya, Pak Aji marah).
Clara mukanya memerah ketika dia lupa dialog yang harus diucapkan dalam drama itu (artinya, Clara malu).
Apa contoh kekeliruan penafsiran cerita Alkitab dalam kategori ini? Bargerhuff memberi contoh baptisan Roh. John Piper menjelaskan bahwa istilah “baptisan Roh” yang digunakan Paulus dalam 1Kor 12:12-13 berbeda dengan “baptisan Roh” yang digunakan Lukas dan Yohanes Pembaptis dalam Kis. 1:4-5 dan Luk. 3:16. Paulus menggunakannya dengan mengacu pada pertobatan seseorang dan kemudian dia diterima sebagai anggota tubuh Kristus. Sementara Lukas dan Yohanes Pembaptis menggunakannya dengan mengacu pada kekuatan dalam pelayanan yang meninggikan Tuhan Yesus. Dengan mengerti pembedaan ini, kita terhindar dari kekeliruan sebagian orang yang selalu mencari “baptisan Roh” setelah mereka menjadi anak Tuhan.
9. Keliru memahami makna sebenarnya serta mengabaikan makna kiasan. Bargerhuff mengajarkan bahwa Alkitab pada dasarnya harus dimaknai secara literal (apa adanya). Jika maknanya menjadi tidak wajar, maka haruslah dimaknai secara kiasan. Pada waktu melakukan perjamuan terakhir dengan murid-murid-Nya, Tuhan Yesus mengeluarkan kalimat yang akan sangat janggal jika dimaknai secara literal:
Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” (Mat. 26:26).
Tentu saja, yang Tuhan Yesus maksudkan dalam peristiwa itu bukanlah meminta murid-murid-Nya untuk bertindak kanibal (memakan daging manusia)!
10. Melakukan pendekatan yang berpusat pada manusia dan mengabaikan kemuliaan Tuhan sebagai fokus Alkitab. Ingat, Alkitab adalah buku yang menceritakan tentang Allah. Dialah pahlawan yang sesungguhnya. Jangan sampai kita terlalu kagum dengan kehebatan tokoh-tokoh Alkitab sehingga malah melupakan tokoh utamanya, yaitu Allah. Terlalu sering saya mendengar khotbah-khotbah yang lebih banyak menonjolkan kekuatan karakter Abraham, kebesaran hati Yusuf, atau keberanian Daud, dan lupa bahwa ada karya Allah di balik mereka semua. Penulis memberikan sebuah panduan yang baik, yaitu tanyakanlah selalu “Apa yang cerita ini ajarkan tentang Allah?” ketika kita membaca cerita-cerita dalam Alkitab.